puisi 

Puisi-puisi Fatah Anshori

Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Belajar menulis sejak pertengahan 2014. Novel pertamanya Ilalang di Kemarau Panjang (2015), beberapa tulisannya termuat dalam tiga buku antologi. Ia juga aktif sebagai pustakawan di Rumah Baca Aksara, yang ia dirikan bersama teman-temannya di dusun tempat ia tinggal sekarang. Beberapa cerpen dan puisinya telah dimuat di media-media online.

 

Di Tubuh Rahasia

 

:Adimas Immanuel

 

Seberapa berdayanya kita di tubuh rahasia,

yang serupa jalan bercabang dan

gang-gang kecil​ di kota ini

yang seperti tak memiliki

ujung dan penunjuk arah samasekali.

Selalu ada yang disembunyikan di

setiap tikungan. Pejalan

kaki dan orang asing kerap mendapati

ragu di pertigaan juga di perempatan

jalan. tidak pernah ada yang bertanya

atau yang berkenan menjawab

sebab bahasa kerap menyembunyikan

maksud bagi setiap mulut. Kenapa

masih ada orang-orang yang

membusungkan dada. Sementara

hari esok atau beberapa detik lagi masih

tanda tanya yang aromanya

tak bisa dihidu sama sekali. Tidak

peduli sebanyak apa kau membaca

berita hari ini. Ia masih tetap kabut

yang gemar bermain tebak-tebakan, dan

menaruh jebakan di setiap suku kata. Agar

kau tampak seperti anak kecil

yang ditelantarkan di pinggir jalan. Ia

tidak tahu hendak kemana. Jalan pulang

masih pelajaran yang belum diajarkan

di kepalanya. Lalu angin hanya

akan bertiup sayup bersama

doa yang kerap dijadikan

tiang sandaran terakhir bagi

tubuh yang hendak remuk

dan luruh bersama

peradaban yang terselip

di kitab agama kita. Rahasia

masih belukar yang menyimpan

gelap dan kerap gigilkan

langkah, lalu hari-hari

seperti jatuh yang tak tentu arah

hendak kebawah atau keatas.

 

Badung, 2017

 

 

Pagar yang Lebih Tinggi dari Kepala

 

Pagi di kota ini masih langit-langit rumah

yang pecah dan bolong-bolong. Jendelanya

kusam dan retak-retak.

Sinar matahari diusir

dengan koran bekas

yang ditumpuk di sela-sela​

pintu dan bening kaca.

 

:sedang ada yang memutar dengki

sepanjang hari.

 

percakapan menjadi barang antik yang

sama sekali rapuh. Kata-kata kerap

lebih dalam sayatnya ketimbang

pisau baru, yang dibeli

si lelaki tempo hari.

 

Ada pagar yang lebih tinggi

dari kepala yang sedang dibangun

dengan batu-batu diam yang direkatkan

oleh kering percakapan. Tidak

lain agar hari-hari

yang mengetuk pintu,

dan kerap datang setiap

pagi, lekas tandas. Bersama

bekas-bekas yang pernah

pecah di rumah ini.

 

Badung, 2017

 

 

Biji Hujan

 

Entah siapa yang menyelipkan

biji hujan pada malam-malam yang

kering di musim panas.

 

Air menetes di jendela kaca

dan dirimu hujan deras

yang membasahi

isi kepala.

 

Badung, 2017

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

five × three =